6. Musafir (orang yang sedang bepergian jauh). Dibolehkan bagi
musafir berbuka atau berpuasa secara mutlak, berdasarkan hadist Ibnu Abbas ra beliau berkata: “Nabi saw melakukan safar pada bulan
Romadhon, sesampai di ‘asafan (nama sebuah tempat di antara Makkah dan Madinah)
beliau meminta secangkir air kemudian diminumnya pada siang hari agar dilihat
oleh manusia bahwa beliau telah berbuka sampai tiba di Makkah. Dan Thowus
(salah satu murid ibnu Abbas) berkata: Ibnu Abbas bertutur: Nabi saw berpuasa dan berbuka di saat safar. Barang siapa yang hendak
berpuasa silahkan dan yang ingin berbukapun tidak mengapa). (HR. Bukhari).
Akan tetapi harus memenuhi beberapa
syarat berikut, yaitu:
·
Hendaknya safar menempuh jarak sekitar lebih kurang 80 km
menurut pendapat sebagian ulama.
·
Harus sudah melintasi daerah tempat ia tinggal. Dan
hendaknya safar bukan dalam rangka untuk maksiat menurut pendapat mayoritas
ulama.
·
Tidak menjadikan safar sebagai jalan atau siasat agar bisa
berbuka.
Boleh Memilih
a) Dibolehkan bagi musafir untuk
memilih antara puasa atau berbuka baik safarnya itu lama ataupun sebentar, baik
safarnya kadang-kadang ataupun terus menerus seperti sopir bus atau pilot. Akan
tetapi yang terbaik bagi musafir adalah melakukan hal yang mudah dan
gampang baginya antara berpuasa atau berbuka.
b) Apabila musafir merasa keberatan
atau capek untuk berpuasa, maka hendaklah ia berbuka dan makruh baginya
berpuasa, sebagaimana sabda Nabi saw tatkala melihat manusia merasa capek karena puasa “Bukanlah
suatu kebaikan berpuasa dalam keadaan safar”.(HR. Ibnu Hibban dll).
Niat berbuka
a) Barangsiapa yang berniat melakukan
safar, maka tidak boleh baginya untuk niat berbuka sampai ia melakukan safar, karena
dikhawatirkan ada hal yang menghalangi dia untuk berangkat. Dan tidak berbuka
kecuali dia telah keluar dari daerahnya.
b) Apabila seorang musafir datang dari
safarnya dalam keadaan berbuka, apakah ia harus menahan sisa hari itu atau
tidak? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, tapi yang lebih selamat,
hendaklah ia tidak makan di depan orang, karena dikahwatirkan timbul buruk
sangka dari yang melihatnya, karena sebab bolehnya dia berbuka tersembunyi atau
tidak nampak.
c) Barangsiapa yang sampai di satu
negeri lantas dia berniat untuk menetap di negeri tersebut selama lebih dari
empat hari, maka wajib baginya berpuasa menurut pendapat mayoritas para ulama.
d) Apabila seseorang mulai berpuasa di
negerinya kemudian safar ke salah satu negeri dimana waktu berpuasa di negri
tersebut berbeda dengan waktu di negerinya, maka hukumnya seperti hukum orang
yang tinggal di tempat tersebut baik waktu berpuasa atau berbuka, sekalipun
dalam hitungannya lebih dari tiga puluh hari. Berdasarkan sabda Nabi saw, “Berpuasa pada hari mereka
berpuasa dan berbuka pada hari mereka berbuka”. Apabila puasanya kurang
dari dua puluh Sembilan hari maka hendaklah ia menyempurnakan sampai dua puluh
sembilan hari setelah hari raya, karena bulan Hijriah tidak kurang dari
dua puluh Sembilan hari. (fatwa syekh Ibnu Bazz).
~ Diterjemakan
secara bebas dari kutaib: (تعلم فقه الصيام ( karya; Syaikh Maajid bin Su’ud dan artikel
(مسالة في الصيام 70) karya; Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid ~
------
Artikel: www.elmajalis.net
------
Artikel: www.elmajalis.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar